Rabu, 05 Oktober 2011

Review Kebudayaan Indis


Review Kebudayaan Indis



Psikologi Lintas Budaya
Kebudayaan Indis
Oleh :
Bachty Halomoan Siagian (15509377)
Fadil Wahyu Adhitama (15509192)
Febrian Satria (15509131)
Fryanto (15509865)
Okky Yudistira
3PA03
Dosen : ASKI MARISSA


Pendahuluan

Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Adapun sejarah berkembangnya kebudayaan asing dan Indonesia, sejak lama sebelum kedatangan bangsa belanda di Kepulauan Indonesia, orang India, Cina, Arab dan Portugis telah hadir di pulau Jawa masing-masing membawa kebudayaannya sendiri, pada abad ke-16 Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang tetapi lama kelamaan bangsa Belanda semakin menguasai Indonesia dan Menjajah Indonesia.
Mereka membangun gudang-gudang penyimpanan rempah yang disebut dengan “pakhuizen”, pada saat mereka awal datang ke Indonesia mereka tidak membawa isteri dan anak-anaknya dikarenakan alasan kurang aman dan jauhnya jarak antar Belanda dan Indonesia.
Dan bercampurlah kebudayaan Belanda dan Jawa yang melahirkan kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan Indis dan menimbulkan lima stratifikasi sosial yaitu elite birokrasi, priyayi birokrasi, priyayi professional, golongan belanda dan Indo serta yang terakhir adalah orang kecil atau wong cilik.
Secara konseptualisasi metodologis gaya hidup Indis antara lain dapat dipahami melalu beberapa sudut pandang bersifat sosio-psikologis yang terbagi menjadi empat aspek yaitu aspek kognitif, aspek normatif, aspek afektif dan komposisi sosial.
Dalam percampuran ke dua culture ini menghasilkan banyak kebudayaan baru mulai dari bahasa, kelengkapan hidup, mata pencaharian hidup, pendidikan dan pengajaran, kesenian, ilmu pengetahuan dan kemewahan gaya hidup hingga religi.
Semua percampuran dua kebudayaan tersebut memiliki histori yang panjang dari mulai datang sampai terjadinya percampuran kebudayaan hingga percampuran darah antara orang belanda dan pribumi tersendiri sendiri dan percampuran kebudayaan tersebut disebut dengan kebudayaan.



Tinjauan Pustaka
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Lewin memberikan penjelasan mengenai peranan penting hubungan pribadi dengan lingkungan. Meksipun terdapat konstruk psikologis individu yang sulit ditembus oleh lingkungan luar, lingkungan masih tetap memiliki kontribusi dalam perkembangan individu. Dalam teori Medan yang digagas Lewin ini, pribadi tak dapat dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya.
Kelly mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat dalam proses harapan-harapan yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki kelompok budaya yang sama akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam mengonstruk peristiwa-peristiwa, dan mereka pun mengembangkan jenis-jenis harapan yang sama mengenai jenis-jenis perilaku tertentu.
Terdapat suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya (lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.

Kepribadian dalam Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi kerangka acuan dari pola pikir dan perilaku manusia, serta bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai konstuk sosial.
Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis sebagaimana digambarkan oleh bagan di bawah ini:









Definisi kepribadian
Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara keberagaman budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam literature-literatur Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai perilaku, kognitif dan predisposisi yang relatif abadi. Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) dan stablilitas serta konsistensi (stability and consistency).
Semua definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Definisi tersebut diyakini dalam tradisi panjang oleh para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah barang tentu mempengaruhi kerja ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai dari psikoanalisa Freud, behavioral approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers meyakini bahwa kepribadian berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku universal.
Dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.

Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.
Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.
Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
Budaya dan Indigenous Personality
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dalam tinjauan lintas budaya dia atas menggambarkan sebuah kenyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kenyataan yang merangsang perlunya kajian-kajian yang bersifat lokal atau indigenous personality yang mampu memberi penjelasan mengenai kepribadian individu dari suatu budaya secara mendalam. Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tersebut.
Sebagai contoh kajian indigenous personality adalah penelitian yang dilakukan Doi (1973). Doi mengemukakan adanya Amae yang dikatakan sebagai inti konsep dari kepribadian orang-orang Jepang. Amae berakar pada kata ‘manis’, dan secara perlahan dirujukkan sebagai sifat pasif, ketergantungan antar individu. Dipaparkan pula bahwa Amae berakar pada hubungan antara bayi dengan ibunya. Menurut Doi, relationship seluruh orang Jepang dipengaruhi dan berkarakteristik Amae, sebagaimana Amae ini secara mendasar mempengaruhi budaya dan kepribadian orang Jepang. Suatu konsep yang memandang kepribadian sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep hubungan sosial.
Temuan mengenai Amae di atas menunjukkan adanya perbedaan konsep kepribadian antara orang Jepang dan orang Amerika. Para Psikolog Amerika memandang bahwa yang menjadi inti kepribadian adalah konsep Ego. Ego disebut ekslusif kepribadian karena Ego mengontrol pintu-pintu kearah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia dan bagaimana caranya, serta memiliki kuasa mengontrol proses-proses kognitif berupa persepsi, memori dan berpikir. Tujuan terpenting dari Ego adalah mempertahankan kehidupan individu. Konsep yang memandang kepribadian sebagai suatu yang bersifat otonom.
Budaya dan Konsep Diri
Definisi konsep diri
Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri. Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan mengenal diri kita sendiri. Suatu deskripsi tentang siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat hingga prinsip.
Berpikir mengenai bagaimana mempersepsi diri adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya. Sebagai contoh, seseorang yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang yang humoris. Deskripsi ini berimplikasi bahwa: (1) orang tersebut memiliki atribut sebagai seorang yang humoris dalam dirinya, yang boleh jadi merupakan kemampuan ataupun ketertarikan terhadap segala hal yang berbau humor, (2) semua tindakan, pikiran dan perasaan orang tersebut mempunyai hubungan yang dekat dengan atribut tersebut, bahwa orang tersebut selama ini dalam setiap perilakunya selalu tampak humoris, (3) tindakan, perasaan dan pikiran orang tersebut di masa yang akan datang akan dikontrol oleh atributnya tersebut, bahwa orang tersebut dalam perilakunya di esok hari akan selalu menyesuaikan dengan atributnya tersebut.
Asumsi-asumsi akan pentingnya konsep diri berakar dari pemilikiran individualistik barat. Dalam masyarakat barat, diri dilihat sebagai sejumlah atribut internal yang meliputi kebutuhan, kemampuan, motif, dan prinsip-prinsip. Konsep diri adalah inti dari keberadaan (existence) dan secara naluriah tanpa disadari mempengaruhi setiap pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.
Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut.
Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan instrinsikdalam diri.




Diri kolektif
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.

Pengaruhnya terhadap persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
Pengaruhnya pada social explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Pengaruhnya pada motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
Pengaruhnya pada peningkatan diri (self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.
Pengaruhnya pada emosi
Emosi dapat diklasifikasikan atas arah hubungan sosial dari emosi, yaitu apakah emosi tersebut akan mengarahkan pada pemisahan diri dengan lingkungan, penarikan diri, ataupun penolakan hubungan sosial sekaligus secara simultan meningkatkan rasa penerimaan diri untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan pada orang lain yang selanjutnya disebut socially disengaged emotions dan emosi yang akan mengarahkan pada keterhubungan dengan orang lain dan lingkungan luarnya atau dikenal sebagai socially engaged emotions.


Pembahasan
BAB I
Awal Kehadiran Orang Belanda

Sejak lama sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, orang india, Cina, Arab, dan Portugis telah hadir di pulau Jawa. Masing-masing membawa kebudayaan sendiri. Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke indosia hannya untuk datang berdagang, tetapi malah datang menjadi pengusaha di Indonesia. Mereka mendirikan gudang-gudang untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpanan barang dagang dan kantor dagang, dan mempurkuat sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Jan Pieterzoon Coen, yang hadir di Batavia pada 1619, mendirikan kota Batavia yang di awali dengan membangun gudang penyimpan barang dengan (pakhuis), istana skaligus benteng yang di bangun di tepi timur kali ciliwung, kemudian makin berkembang di pedalaman. Untuk menghindari luapan banjir. Gubernur Jendral Valckenier (1737-1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tertinggal di dalam benteng . penguasa VOC sudah membangun pos-pos penjagaan yang di perkuat dengan benteng-benteng kecil, seperti yg berada di Ancol, Jacatra, Rijswijk, Vijfhoek dan Angke.
Kota Batavia, Surabaya, dan Semarang semua terletak di hilir sungai. Orang Belanda menganggap rumah-rumah itu kurang sehat karna di bangun di atas rawa-rawa. Kemudia mereka memindahkan tempat tinggal mereka ke pemukiman baru di daerah pedalaman jawa. Mereka menganggap daerah pemukiman lebih baik dan sehat. Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudia menjadi penguasa mempengaruhi gaya hidup, bentuk bangunan rumah. Dengan demikian, kebudayaan Barat (Belanda) sangat mempengaruhi sekali.
Tujuh universitas budaya yang merupakan campuran unsur budaya Belanda dan budaya dan budaya pribumi inilah yang di sebut kebudayaan indis. Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, khususnya keturunan Eropa (Belanda) dan pribumi. Bentuk bangunan rumah tempat tinggal para pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki cirri-ciri perpaduan antara bentuk bangunan belanda dan rumah bangunan tradisional oleh Berlage disebut dengan istilah “indo-europeesche Bounwkunst”. Van de wall menyebutnya dengan istilah “Indische Huizen”, dan Pramono Atmadi menyebutnya “Arsitektur Indis”
Politik liberal yang di lakukan oleh pemerintahan colonial pada tahun 1870, dan bannyak perusahaan swasta di bidang perkebunan, perbankan, dan perkeretaapian. Dan banyak memerlukan tenaga buruh kasar yang langsun di ambil dari desa-desa di Jawa, sedangkan pejabat tinggi bannyak di ambil dari Belanda. Dengan tersebarnya aparat pemerintahan Belanda ke pelosok nusantara ( di sebut dengan pegawai BB atau Binenlandsbestuur) pada saat itulah berkembang percampuran gaya hidup Belanda dan Jawa yang di sebut gaya hidup indis.
Suburnya budaya indis, pada awanya didukung kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda, karna ada larangan membawa perempuan Belanda ke Hindia Belanda, maka terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran. Pada tahun 1870 Terusan Suez dibuka. Sehingga kehadiran perempuan Belanda semakin bannyak ke Indonesia. Sehingga percampuran budaya semakin banyak.
Istilah indis di kenal makin luas oleh masyarakat dengan berdirinya partai-partai politik, seperti indische partai yang didirikan ole Douwes Dakker, Tjipto Mangun Kusumodan suwardi suryaningrat pada 1912. Ada pula partai indische bond.
Kata “indis” bagi bangsa Indonesia pada massa tertentu dirasakan sebagai kata hinaan. Biasa digunakan untuk menyebut bangsa kelas rendah. Penjajahan Belanda telah berakhir dan kemerdekaan Indonesia telah di proklamasikan tanggal 17 Agutus 1945. Dengan demikian, masa penjajahan tinggal kenangan belaka. Kata “indis” justru dapat dijadikan pengingat yang menandai suatu babak zaman pengaruh zaman budaya Eropa (Barat) di Indonesia yang hingga sekarang sangat mencolok dalam kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan dan gaya hidup indis merupakan satu fenomena historis karna menghasilkan karya budaya yang di tentukan oleh beberapa factor, interrelasinya. Pemerintah kolonial mengharuskan penguasa untuk bergaya hidup serta membangun gedung dan tempat tinggalnya dengan menggunakan cirri-ciri dan lambing yang berbeda dari rakyat yang di jajahnya. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya,
Studi tentang kebudayaan dan gaya hidup indis di jawa dengan pendekatan ilmu sejarah dan hubungannya dengan tujuh unsur universitas budaya belum bannyak di kerjakan. Apa yang di tulis di dalam karya Berlage, Van de Wall dan Peter J.M. Nas, lebih berfokus pada gaya bangunan secara umum. Selain itu terdapat pula karya De Han, Breton de Nijs, Buiten Weg, dan Bea Bromer tentag kehidupan masyarakat indis. Karya-karya para penulis tersebut tidak terkait tujuh unsure universal budaya, sehingga pembahasannya terasa terlepas satu sama lain. Tulisan mereka sangat berharga bagai pemahaman pola gaya hidup indis sebelum perang dunia I dan II yang tidak di kenal oleh generasi muda Indonesia sekarang.
Untuk itu tulisan clyd cluckhohn tentan tujuh budaya universal sebagai alat (sarana) memahami budaya universal dapat menjadi referensi yang sangat peting untuk memahami kebudayaan indis.
Perkembangan kebudayaan indis berakhir bersama dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan kekuasaan balatentara jepang selama tiga setengah tahun. Gaya hidup indis yang mewah terusik oleh perang dunia II yang berkecamuk melumpuhkan gairah hidup.
Kebudayaan indis adalah monument estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan imajinasi colektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia.

BAB II
Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis

A.Struktur Masyarakat dan Kehidupannya
Kehadiran bangsa belanda sebagai pengurus di pulau jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yaitu barat dan timur, kebudayaan barat (belanda) dan timur (jawa)yang masing-masing di dukung oleh etnis berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda dan bercampur. Percampuran kebudayaan tersebut lambat laun mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Oleh karena itu pengaruh ke tujuh kebudayaan universal (seven cultural universals) yang di miliki jawa sepenuhnya terpengaruhi olehnya.
Stratifikasi sosial masyarakat jawa secara deskriptif sudah banyak di ulas oleh para sarjana antara lain sartono kartodirdjo, burger, Wertheim dan koentjaraningrat. Sartono kartodirdjo lebih menekankan pada analisis pada analisis tentang struktur status pada masyarakat jawa selama zaman kolonial, di pusatkan pada “ peranan pendidikan dan pekerjaan dan sebagai indikator posisi kelas sosial. Geertz menulis tentang perkembangan elite jawa pada tingkat local dan Berg membahas system kepangkatan.
Sejak abad ke-18 sampai 20 muncul golongan baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (jawa-belanda) di daerah jajahan hindia belanda. Hal itu disebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan belanda di pulau jawa. Tentang hal ini Burger menyebutkan ada lima golongan, yaitu : (a) golongan pamongpraja bangsa belanda, (b) golongan pegawai Indonesia baru, (c) golongan pengusaha partikelir eropa, (d) golongan akademis Indonesia (sarjana hokum, insinyur, dokter, guru dan lainnya) dan (e) golongan menengah Indonesia. Golongan yang terakhir ini ialah golongan para pengusaha Indonesia atau orang kaya baru, tapi justru kurang di anggap oleh empat golongan lainnya dan dianggap sebagai wong cilik.
Sementara sartono kartodirdjo membagi masyarakat Hndia Belanda berdasarkan pendidikannya menurutnya stratifikasi masyrakat Hindia Belanda adalah : (1) elite birokrasi terdiri atas pangreh praja eropa, (2) priyayi birokrasi, (3) priyayi professional, (4) golongan belanda-indonesia yang secara formal masuk status eropa, (5) orang kecil (wong cilik).
Berdasarkan keterangan Faber dalam tulisannya Oud Soerabaia, ditentukan berdasarkan tempat kelahirnnya. Tempat kelahiran menentukan status sebutan masyarakat. Apakah seseorang murni keturunan belanda (volbloed) atau tidak. Orang bukan murni keturunan belanda disebut mestizen, creolen dan liplappen. Pada masa VOC masih ada pengaruh portugis yaitu dalam sebutan terhadap orang terhormat, kelompok masyarakat utama terhormat (mijnheer) disebut signores dan keturunannya sinyo oleh orang pribumi, keturunan belanda pertama asli grad satu “liplap”, grad dua “grobiak” dan grad tiga “kasoedik”. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, grobiak menjadi pelaut,nelayan dan tentara sedangkan kasoedik menjadi pemburu atau nelayan.
Dalam penggunaan istilah grobiak dan kasoedik lama-kelamaan dan hilang kecuali liplap dan sinyo dan pada akhirnya semua istilah tersebut hilang dan dig anti dengan indo europeann sebagai julukan kehormatan.
Golongan tersebut merupakan pendukung terkuat budaya indis kecuali wong cilik. Dalam membangun rumah bergaya indis, golongan pedagang dan pengusaha lah yang berperan sangat besar, selain wong cilk para pedangan keturunan cina dan arab juga banyak membangun rumah bergaya indis.
Masyrakat colonial di hindia belanda memiliki struktur yang bersifat (semi) foedal. Mereka mengalami moderenisasi dan perkembangan system produksi dan teknologi. Sebab lainnya adalah karena ada perkembangan di bidang pendidikan dan organisasi pemerintah dengan gaya barat. Prestise golongan masyarakat pribumi yang berpendidikan lambat laun meningkat menjadi kuat. Kemudian terbentulah golongan baru berdasarkan jenjang sosial, yaitu golongan intelektual pribumi atau keturunan. Golongan bangsawan dan terpelajar serta pegawai pemerintah kolonial dan mereka adalah pendukung kebudayaan indis. Golongan masyarakat ini pada dasarnya menerima politik moderat dan bersikap kooperatif.
Gaya indis sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran belanda dan pribumi jawa, menunjukan adanya proses historis. Unsur-unsur normative gaya indis terbentuk secara khusus. Pada masa awal yang menonjol adalah unsur-unsur yang berifat subjektif seperti solideritas dan lain-lain baru lah kemudian gerakan tersebut berkembang menjadi gerakan sosial colonial untuk menciptakan kelas sosial tersediri.
Unsur-unsur esesnsial yang menonjol dalam perkembangan antara lain: penderitaan bersama sebagai golongan keturunan, sebagai pejabat bawahan pemerintahan colonial, sebagai golongan dalam tingkat-tingkat masyarakat jajahan. Dengan demikian, diperlukan aspirasi-aspirasi bersama untuk menciptakan lingkungan hidup yang martabatnya dianggap mempersentasikan keduanya, dan kemudian dari istilah-istilah lingkungan hidup dan martabat antara dua lingkup budaya tersebut dapat diterapkan juga pada gaya indis.
Faktor penentuan dalam perkembangan pola hidup gaya indis ini antara lain: (a) adanya nasib dan penderitaan yang sama rakyat jajahan, (b) karena takdir dilahirkan campuran eropa dan jawa (c) keinginan untuk hidup yang lebih baik dari golongan masyarakat yang lain (d) karena mengabdi atau bekerja pada pengusaha jajahan dan (e) beruntung karena mendapat pendidikan tinggi atau jabatan tinggi. Fenomena historis yang dikaji dari berbagai sumber merupakan hasil dari aktifitas masyarakat indis.
Konseptualisasi metodologis gaya hidup dapat dipahami melalui sudut pandang masyarakat indis, sebagai faktor yang bersifat sosio-psikologis, yaitu: a) aspek kognitif, b) aspek pada orientasi nilai, normative dan kepercayaan (belief), c) aspek afektif dan d) aspek yan berhubungan dengan aspek komposisi sosial dalam kehidupan keluarga (the household level).
1.Aspek kognitif
Aspek kognitif berhubungan dengan tingkat perasaan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas berbagai objek peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang kompleks. Hal ini lebih sulit diartikan karena indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu belanda dan jawa. Sebagai contoh dalam hal membangun rumah tempat tinggal, contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasan system simbolik, khususnya gaya hidup. Dalam menganalisis aspek kognitif gaya indis perlu memperhitungkan koteks budaya belanda dan jawa.
2.Aspek normative
Aspek ini memiliki makna hampir sama dengan aspek orientasi nilai, tujuan, normative dan kepercayaan. Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik, aspek normative berhubungan dengan sesuatu yang bersifat pribadi.
3.Aspek afektif
Aspek afektif yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ketiga ini dapat dikaitkan dengan aspek kehidupan berumahtangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
Ketiga aspek kognitif, normatif, dan afektif tersebut merupakan tindakan saling berkaitan dan tidak dapar dipisahkan secara konkret satu sama lain meskipun kebudayaan indis merupakan campuran dua budaya yang berbeda. Dua kebudayaan yang berbeda itu justru terus bercampur semakin erat.
4.Komposisi sosial
Kehidupan keluarga (household level) menunjukan susunan masyarakat jawa yang berbeda dengan masyarakat eropa. Gaya hidup priyayi baru berpendidikan barat ini mendekati gaya hidup eropa, gaya hidup bangunan rumah indis tingkat awal cenderung bercirikan budaya belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa belanda membawa kebudayaan murni dari negeri belanda.
Masa awal kekuasaan kompeni terdiri atas orang-orang militer, pedagang, dan pejabat kompeni. Mereka datang tanpa isteri dan anak-anak mereka, setelah kondisi dianggap cukup memungkinkan dan aman, mereka membawa membawa perempuan dan anak-anak dari belanda. Mereka mengadakan percampuran darah dengan perempuan pribumi. Pengaruh kebudayaan belanda lambatlaun makin berkurang, terutama setelah pendatang dari Belanda memiliki semakin banyak keturunan dari pernikahan dangan bangsa jawa.
B. Kebudayaan Indis
Sejak awal kehadiran bangsa belanda erjadi kontak budaya yang menghasilkan perpaduan budaya. Kebudayaan campuran didukung oleh segolongan masyarakt Hindia-Belanda.
Pada masa awal kehadirannya di Nusantara,peradaban Belanda mendominasi kebudayaan Indonesia, sebelum terjadi percampuran budaya ini, peradaban Indonesia sudah tinggi. Masyarakat suku jawa cukup aktif dalam proses percampuran budaya ini sehingga budaya Jawa tidak lenyap.
Unsur-unsur kebudayaan mula-mula dibawa oleh para pedagang dan pejabat VOC, kemudian rohaniawan Protestan dan Katolik juga mengikutinya para cendekiawan mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian dan transportasi.
Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut peran penguasa kolonial di HIndia Belanda sangat menentukan. Hasil perpaduan menunjukan bahwa cirri-ciri Barat (Eropa) tampak lebih menonjol dan dominan. “Wujud” dan “Isi” kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu: sitem budaya (cultural system) yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang dan sebagainya yang berbentuk abstrak.
Dalam bahasa Indonesia, cultural system ini dapat disebut “tata budaya kelakuan”. Wujud ini disebut social system kemasyarakatan yang berwujud “kelakuan”; serta berwujud benda (artifacts), yaitu barang-barang hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda. Wujud ini disebut material culture.
Adapun “Isi” kebudayaan, menurut para antropolog, ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. “Isi” kebudayaan Belanda yang datang memperkaya Indonesia dalam konteks tujuh unsur budaya universal itu ialah:
1. Bahasa (lisan maupun tertulis),
2. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (antara lain: pakaian, rumah, senjata, alat transportasi, alat produksi dan sebagainya),
3. Mata pencaharian hidup dan system ekonomi (pertanian, perternakan, system produksi dan sebagainya),
4. System kemasyarakatan (contohnya: organisasi politik system kekerabatan, system hokum, system perkawinan dan sebagainya),
5. Kesenian (seni rupa, seni sastera, seni suara, seni gerak dan sebagainya),
6. Ilmu pengetahuan,
7. Religi.

Sebelum bangsa Belanda hadir,masyarakat Jawa sudah mengenal teknologi dengan cukup baik. Hal tersebut tampak dari arsitektur rumah mereka yang berelemen kayu, bangunan candi berelemen batu alam atau bata, alat-alat rumah tangga dari gerabah, logam, dan kayu, serta alat upacara terbuat dari kayu, batu, logam, perunggu,perak dan emas.
Selanjutnya dijelaskan hal-hal tentang tujuh unsur universal budaya Indis dengan contoh-contoh budaya Indis dan sebagai kelengkapannya disertakan pula foto-foto dengan keterangan singkat.
1. Bahasa
2. Kelengkapan Hidup
a. Rumah Tempat Tinggal
b. Kelengkapan dan Peralatan Rumah
c. Pakaian dan Kelengkapan
d. Alat berkarya dan berproduksi
e. Kelengkapan Alat Dapur dan Jenis Makanan

3. Mata Pencaharian Hidup
a. Prajurit Sewaan
b. Pejabat Administrasi Pemerintahan.
c. Tenaga Kasar
4. Pendidikan dan Pengajaran
5. Kesenian
6. Ilmu Pengetahuan dan Kemewahan Gaya Hidup
a. peran penghuni dan pemilik pesanggrahan
b. pembangunan Rumah Mewah dan Kemewahan Gaya Hidup Indis
c. Pembangunan Rumah Pesanggrahan
7. Religi



BAB III
Gaya hidup masyarakat indis

Pendekatan kultur-historis sangat membantu untuk lebih memahami peradaban masyarakat Indis, termasuk gaya hidupnya. Konsep Indis disini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan jawa. Ruang lingkup waktu sejak abad ke-18 sampai abad ke-20 menjadi perhatian khusus dalam bab ini.
Pembangunan rumah tinggal diluar benteng Batavia semakin banyak karena keamanan di luar tembok benteng semakin aman dari amuk dan serangan para penguasa Pribumi. Rumah-rumah mewah (landhuizen) milik para pejabat tinggi VOC adalah tempat awal berkembangnya kebudayaan Indis.
Kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan di bidang ekonomi disebabkan oleh adanya segolongan masyarakat indis di Batavia, Khususnya mengacu pada kehidupan orang petinggi di Weltevreden. Sementara, itu para pejabat bawahan di kota-kota besar Jawa hidup mewah jika dibandingkan dengan kehidupan para raja dan bangsawan Jawa.
Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan Indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok social lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional Jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan indis, seperti halnya tujuh unsur universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda,ataupun budaya Pribumi Jawa.
Salahsatu factor yang menjadi petunjuk utama status seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berupa berbagai tata cara, adat-istiadat serta kebiasaan berperilaku dan mental sebagai ciri golongan social indis. Keseluruhan ciri tersebut mempengaruhi hidupnya sehari-hari karena semuanya dijiwai oleh pandangan hidup yang berajar dua budaya yaitu Belanda dan Jawa sebagai golongan penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukung dua akar kebudayaan yang berbeda.
Berikut ini dibahas gaya hidup kelompok masyarakat pendukung kebudayaan Indis yang terdiri atas pejabat VOC dan pejabat pemerintahan Hindia Belanda, serta kalangan pegawai swasta beserta anak keturunannya.
Gambaran gaya hidup masyarakat Indis dapat diikuti dan lebih dipahami lewat berbagai berita tertulis berupa buah karya para musafir, rohaniawan, peneliti alam, pejabat pemerintahan jajahan,termasuk berbagai buah karya sastera Indis (Indische belletries). Leonar Blusse menyebutkan tentang bagaimana sulitnya mendapatkan berita tertulis tentang kehidupan para permpuan Indis semasa kekuasaan VOC, seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami. Data arsip dari gereja sedikit membantu, tetapi akta-akta gereja yang menyebutkan tentang perempuan juga tidak memuaskan atau tidak banyak member kontribusi.
Abdi atau penguasa OVC tersebut diatas dapat dibagai dalam empat golongan pokok yaitu :
a. Pegawai niaga,mulai dari jabatan opperkoopman (pedagang kepala) sampai asisten.
b. Personel militer dan maritime yang terdiri atas berbagai tingkat kepangkatan.
c. Personel kerohanian yang terdiri dari pendeta Calvinis.
d. Kelompok terendah, yaitu terdiri dari para tukang dan para pengraji, yang secara kolektif dikenal dengan ambahtheden.
Seorang opperkoopman lebih tinggi pangkat dan kedudukannya dibandingkan dengan perwira militer atau komandan maritime senior. Apabila opperkoopman didudukan sebagai pimpinan ekspedisi militer atau maritime. Pada umumnya para abdi VOC kembali pulang ke Eropa apabila kontraknya habis dan cita-citanya mencari yang telah terpenuhi di dunia Timur. Mereka yang pulang ke Belanda disebut trekkers. Keadaan tersebut berubah sesudah 1649. Dengan berkembangnya VOC, banyak personel senior yang ingin kembali ke Belanda setelah kontraknya habis. Mereka yang tinggal menetap di Hindia Belanda disebut blijivers.
Karya-karya ini memiliki unsur-unsur subjektif yang kuat dan cenderung menyuarakan sikap dan pandangan pribadi penulisan secara langsung. Gambaran kehidupan Indis itu tentunya berbeda-beda sesuai dengan yang ditangkap oleh pengarang-pengarang. Para sasterawan yang hidup sezaman dengan kejadian yang tercatat di dalam karyanya merupakan saksi sejarah yang penting. Karya-karya sastera tersebut merupakan buah tangan yang langsung berasal dari tangan pengamat dari zaman itu.
Kehidupan masyarakat Hindia Belanda umumnya terpisah dalam kelompok-kelompok dengan batas-batas yang diatur dengan ketat. Batas-batas tersebut antara lain batas warnna kulit,kelas social serta asal keturunan.selain itu dalam lapangan kerja seks,lazim para pejabat pemerintahan atau administrator perkebunan memiliki dan memlihara nyai atau gundik yang dapat diambil dari anak atau isteri kuli pekerja perkebunan atau dari kampung orang Pribumi.
Dalam menyimak dan mengekspresikan kehidupan masyarakat yang seperti itu melalui karya tulisnya, sasterawan (seniman) memiliki dua macam pendapat pokok,yaitu pertama, pendapat yang membela dan kedua, pendapat yang mencela.
Para sasterawan menceritakan kepercayaan tentang hal-hal gaib, tentang jin-setan,tenung, teluh, obat-obat yang dapat menimbulkan jatuh cinta dan sebagainya. Hal-hal tersebut diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indis. Tentang nyonya krom yang pandai membuat sirop asam di Pasuruan serta Nyonya Klopperburg yang ahli meracik jamu-jamu jawa.
Karya-karya Indis (Indische belletries) pada masa kekuasaan Hindia Belanda sangat digemari oleh para permpuan Indis sebagai bahan bacaan harian untuk mengisi waktu atau membunuh kejenuhan khususnya bagi isteri pejabat yang sehari-hari mendampingi suami yang ditugaskan di pelosok kota yang sepi dan terpencil.
Dalam uraian berikut, penulis membahas beberapa aspek gaya hidup Indis yang meliputi : (a) rumahtangga dan tempat tinggal Indis; (b) kelengkapan rumah tinggal; (c) Kehiduoan keluarga sehari-hari di dalam rumah; dan (d) gaya hidup mewah Indis.
A. Rumahtangga dan rumah tinggal Indis
Sejak awal kehadiran orang Belanda, unsur-unsur budaya dan iklim alam sekeliling sudah mempengaruhi orang-orang Eropa itu dalam membangun rumah tempat tinggal mereka di Jawa. Hal ini diketahui dari pencerminan ciri-ciri yang ada, yaitu adanya pencampuran anara seni bangunan masa colonial tersebut. Kelompok perumahan yang berada diluar Kota Batavia disebut pesanggrahan atau landhuizen.

Pada awal kedatangan Belanda di Jawa rumah tempatn tinggal orang eropa di dalam Kastil bBatavia mempunyai susunan tersendiri yang secara umum mirip dengan yang terdapat di negeri asalnya. Sebagai hasil akhir berdirilah rumah –rumah bangunan gaya Indis dalam abad ke- 18 sampai dengan runtuhnya pemerintahan colonial Belanda di bawah pemerintahan balatentara Jepang pada 1942. Corak bangunan rumah tinggal yang demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau Hilversum, Belanda.

Rumah-rumah Batavia kuno di dalam dinding kota lamvatlaun juga berbeda dengan rumah-rumah Indis yang berkembang di pedalaman pulau jawa. Karyanya sangat halus dan serasi. Batu-batu bata ditempelkan satu sama lain kemudian digosok sehingga menghasilkan garis-gari yang jelas (muurdammen). Demikin mendalammnya kemmpuan dan pengetahuan mereka ini juga diakui oleh para ahli bangunan modern sekarang ini.

Pada 1730-an, sepertiga bagian dari daun pintu sebuah bangunan rumah mewah dipahat dengan a’jour relief yang indah. Panel-panel daun pintu dipahat begitu halus. Terdapat ragam hias berupa sulur-sulur tumbuhan berselang-seling dan berbeda-beda. Hal ini dapat digunakan untuk petunjuk bahwa rumah itu adalah milik orang kaya dengan pintunya yang memiliki panel berukir indah.

Bentuk jendela ditutup rotan yang dianyam. Penggunaan anyaman rotan sebagai penutup jendela semacam ini merupakan suatu kompromi antara bentuk jendela terbuka dengan terali dari besi batangan dan bentuk jendela terututup yang menggunakan petak-petak kaca. Jendela yang menggunakan penutup daun jendela dengan kepingan kaca patri bagi penghuni Nusantara waktu itu sangat mahal, kecuali misalnya rumah Domine Sebastian Danckaerts yang kaya, jendelanya dihias dengan kaca-kaca patri.

Orang-orang portugis melanjutkan kebiasaan di Hindia Belanda yaitu menggunakan kulit binatang bertotok (berkulit keras) seperti kura-kura,tiram dan keong. Orang menggunakan anyaman rotan halus sebagai penutup bukaan daun jendela dengan maksud dapat mengatasi gangguan sinar matahari,hujan dan angin.

Kira-kira pada 1750 di Batavia terjadi perubahan tren. Mereka mulai menggunakan jendela-jendela yang megah, yaitu jendela yang lebar dan tinggi yang keselurhannya terdiri atas petak-petak gelas.

B. Kelengkapan rumnah tinggal
Dari penginggalan-peninggalan catatan kuno, Boedel Beschrivingen, ruang tengah yang terletak di belakang ruang depan disebut voorhuis. Pada dinding ruang ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, disamping piring-piring hias dan jambangan porselen.Pada dinding ruangan ini juga tergantung perabotan lain berupa senjata atau alat perang,yaitu senapan, pedang, perisai, tombak dan sebagainya. Didalam Bataviasche statute 1642,disebutkan bahwa semua pegawai VOC dan para pekerja diwajibkan menyandang senjata.
Di dalam zaal (ruang) diletakkan perlengkapan rumah. Kadang-kadang terdapat hiasan baluksterkop sebagai stalactite di atas tangga dalam zaal ini. tangga ini diperindah lagi dengan cat warna keemasan. Hiasan karya ukir yang demikian kaya dan mewah ini didugan tidak mungkin dikerjakan oleh para ahli bangunan modern masa kini.
Pada masa kompeni dan pemerintah Hindia Belanda, zaal mendapatkan perhatian yang istimewa. Hiasan ukir yang sangat berharga dan mewah pada tangga serta pintu dan jendela dapat digunakan sebagai petunjuk tentang kedudukan si empunya rumah dalam susunan masyarak colonial. Kemewahan itu juga merupakan petunjuk tingginya selera seni si pemilk rumah. Hal seperti ini juga dilakukan oleh pemilik-pemilik rumah tberukuran kecil atau rumah sederhana milik pribumi yang tergolong mampu.
Rioolering atau saluran pembuangan limbah juga sulit diadakan. Rumah-rumah warga berukuran kecil hanya memiliki sebuah gemackstoel (wc) yang tempat tinjanya dapat diangkat dan dipikul untuk dibuang di sungai setiap malam hari. Pembuangan tinja dengan cara seperti ini membuat kehidupan tidak nyaman. Kemudian didapat pemecahan lain, yaitu dengan membuat pintu belakang menuju sungai atau kanal. Adanya pintu tembus kearah belakang rumah ini dimaksudnkan untuk jalan membuang kotoran ke kali dan menjaga kesegaran ruang keluarga khususnya ruang tidur dan ruang depan.

Kemegahan rumah tinggal masyarakat Indis tersebut lebih diperkaya lagi dengan adanya perabotan rumah (meubilair) yang penuh hiasan, dipelitur warna hitam serta di cat merah menyala,cokelat,hijau atau emas. Cat kusen pintu dan jendela yang berwarna keemasan sangat menyedapkan pandangan mata mereka pada masa itu.

C. Kehidupan keluarga sehari-hari di dalam rumah
Satu kebiasaan yang umum dilakukan bangsa pribumi jawa pada pagi hari adalah pergi ke kali. Kebiasaan seperti ini yang membuat jamban terletak diluar rumah.
Sudah sejak lama keluarga keturunan Belanda membuat tempat untuk mandi (bandhuisje) di tepi sungai. Misalnya dirumah schrueder terdapat speelhuis dan di bawahnya (arah hilir sungai) terdapat washbok, yaitu bilik tempat mencuci dan mandi yang terbuat dari bamboo atau batu bata yang disemen.Hal seperti itu terdapat juga di Molenvliet West No. 11, yaitu berupa ruangan bilik kecil yang tertutup dan berdinding tembok bata. Ditempati ini orang dapat terlinduk untuk mandi dan berganti baju.

Air didapat dari sumber air di Molenvliet yang disalurkan lewat pipa. Apabila orang mandi, orang membuka kunci saluran air sehingga air dapat mengalir dan terbuang lewat saluran air, limbah namun bak tersebut mengandung lumpur. Victor Thonnrieux memasangan advertensi di suratkabar burlan Juni tanggal 1 pada 1861 tentang pembukaan Hotel de L’univers dengan menyebutkan bahwa hotel ini menyediakan tempat mandi.

Kamar mandi yang terletak di dalam rumah sudah dikenal orang pada 1870, tentu saja masih berbentuk sederhana. Pada sisi belakang ruangan terpdapat washuys. Disitu terletak sebuah waschbalie of bad ,yaitu sebuah tong besar untuk mandi dengan gayung. Pada 1840 dan lama sesudah itu, diberitakan bahwa tidak setiap rumah di Batavia memiliki kamar mandi. Kelengkapan tempat mandi juga terdapat di landhuizen milik para pejabat tinggi pemerintah. Meskipun demikian, lokasi kamar mandi itu tidak jauh berbeda dengan milik kalangan bawah, yaitu di tepi sungai juga.

Dirumah Van Riemsdijk di Tijgergrach, terdapat bangunan berbentuk rumah-rumahan kecil terbuka yang disebut speelhuisje. Bangunan ini terletak di tepi kali dan dikhususkan untuk mandi. Sementara itu, ada dua buah koepeltje (rumah kecil berkubah) yang terletak disungai depan rumah Van Der Parra di jalan Jacarta (sekarang jalan veteran). Ambang pintu diletakkan dekat dengan washtrap yang megah. Van Der Parra tidak hidup bersama isterinya di Batavia dan tidak seharian pergi ke sungai. Mungkin juga dimaksudkan sebagai hidro hobi, sebagai petunjuk bahwa ia pernah berada di Holland.

Orang yang lahir di Belanda sebeneranya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Hal demikian itu juga berlaku bagi bangsa portugis, termasuk juga perempuannya, khususnya para nona. Untuk kesehatan serdadu, seringkali diberitakan bahwa setiap delapan atau sepuluh hari, para serdadu harus mandi, tetapi para serdadu sering tidak mematuhinya. Sebagai kebiasaan pagi setelah bangun tidur, suami-isteri para pejabat VOC duduk-duduk di serambi belakang sambil minum kopi atau the dengan masih mengenakan pakaian tidur. Laki-laki mengenakan baju takwo dengan celana atau sarung batik.Perempuannya mengenakansarung batik dan baju tipis warna putih berhiaskan renda putih. Kain batik yang sangat disukai adalah batik pekalongan.

Menyambut tamu dengan hidangan mewah dan pesiar mengelilingi taman dan kebun juga dilakukan para pembesar colonial, antara lain Gubernur Jenderal Camphuijs yang menerima tamunya Riddler de Chaumonts, duta Vatikan; Direktur Jendral Abraham van Rebeeek menerima cornelis de Bruyn di pesanggrahan Atruiswijk; Gubernur Jenderal Van der Parra menerima pelancong terkenal De Bougainville di pesanggrahannya di jalan Jacarta; Van der Parra juga menerima pelancong James Cook dari Inggris dengan teman-temannya yang kemudian mencatata dalam buku hariannya; Majoor Jantje (August Michiels) banyak menerima tamu asing di landhuiz Citeureup.

Pada 1930-an tingal sebagian kecil dari pesanggrahan-pesanggrahan itu yang digunakan sebagai tempat tinggal oleh orang Eropa swasta. Kebanyakan dari mereka adalah anak cucu keturunan tuan tanah Batavia yang sudah meninggal. Dengan demikian, gaya kehidupan Indis yang mewah dan sering ditulis, diberikan, serta disebut oleh para penulis tersebut diatas sudah tidak banyak terdengar lagi.

D. Daur hidup dan gaya hidup mewah
Daur hidup atau life cycle adalah suatu rangkaian dalam perkembangan kehidupan seorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Daur hidup lazim dirayakan dengan berbagai upacara. Dalam membahas kemewahan gaya hidup masyarakat Indis yang berhubungan dengan daur hidup, berikut ini deskripsi jalnnya upacara yang menarik dan aneh menurut kehidupan masyarakat Indonesia sekarang.
Ada tiga upacara daur kehidupan yang akan dibahas di sini, yaitu kelahiran, pernikahan dan kematian. Ketiga upacara itu memiliki tujuan masing-masing, Upacara kelahiran dilangsungkan untuk menyambut kehadiran anggota baru dalam suatu keluarga. Upacara perkawinan diselenggarakan dengan mewah dengan harapan perkawinan yang baru dijalani kedua mempelai berlangsung penuh keselamatan. Pada masa kejayaaan VOC dan Hindia Belanda justru peristiwa kematian yang mendapatkan perhatian istimewa. Kematian biasa diiringi berbagai hpacara mewah dan memerlukan biaya yang sangat besar.
1. Upacara kelahiran
Kelahrian anggota baru dalam keluarga lazim dirayakan dengan berbagai upacara. Sebelum melahirkan, keluarga Indis yang mampu sudah meyiapkan baju kanak-kanak, ranjang untuk si bayi, kelengkapan persalinan dan ruang tidur bagi si Upik. Di semarang pada 1815 gereja-gereja dipenuhi oleh orang tua yang membawa bayinya untuk dibaptis. Tidak jelas mengapa pada tahun tersebut begitu banyak pembaptisan untu bayi sehingga menyibukkan pendeta. Banyak peraturan yang diberlakukan untuk mendapatkan pengesahan pekawinan seseorang. Sahnya perkawinan dua orang mempelai menentukan kedudukan bayi yang baru lahir. Sesuai dengan undang-undang 1642, seorang Nasrani dilarang mengawini orang yang bukan Nasrani. Akibatnya, banyak perkawinan diluar nikah. Upacara-upacara untuk menyongsong kelahiran anak tidak terlalu banyaka menelan biaya.
2. Upacara pernikahan
Pernikahan memerlukan biaya lebih besar dibandingkan dengan upacara kelahiran. Upacara yang berlangsung semasa VOC dan pemerintahan Hindia Belanda berbeda dari waktu ke waktu.
Sebelum akad nikah berlangsung, calon pengantin laki-laki menggantungkan sebuah mahkota kecil di depan pintu rumah atau kantornya. Beberapa minggu sebelum akad nikah, kedua calon mempelai mengadakan resepsi yang dihadiri teman-teman dekatnya. Pada saat ini, stroojonker dan stroomeisje itu pula yang bertugas menabur bunga pada saat hari pernikahan.
Malam sebelum hari perkawinan, mahkota dari pihak laki-laki dibawa kerumah pengantin perempuan diiringi music dengan lagu-lagu khusus untuk pernikahan. Pada akhir abad ke-18, upacara tidak diadakan di gereja tetapi mereka mengundang pendeta kerumah pengantin perempuan. Hal ini juga menambang gengsi tuan rumah dan pendeta karena Bapak Pendeta menyampaikan pemberkatan perkawinan di depan para tamu agung. Pengantin laki-laki bersama teman-temannya datang ke rumah mempelai perempuan dengan mengendarai kereta yang dihias bagus. Waktu itu, kereta pengiring paling banyak hanya dua kereta.
Sebelum upacara perkawinan dimulai, kedua mempelai maju menuju ke preekstoel yang dihampari permadani. Kedua mempelai jongkok berlutut diatas bantal menghadap pendeta. Sekembali dari gereja, dideapn rumah pengantin perempuan , atroojonker dan stroomeisje menaburkan bunga dan harum-harumah. Kedua mempelai masuk kek kamar tidur yang dihias bagus. Sementara itu, diluar rumah orang memainkan alat-alat musi dengan lagu-lagu perkawainan yang mendayu-dayu, bahkan juga dibakar petasan. Waktu itu terdapat kebiasaan orang menyulut petasan untuk pesta perkawinan dan ulangtahun seseorang.
Sesuai upacara perkawinan, pengantin perempuan tinggal dirumah saja untuk beberapa hari. Ia keluar rumah menuju ke gereja dan diteruskan menjalankan rumah sehari-hari.
3. Upacara Kematian
Upacara daur hidup yang ketiga ialah upacara kematian. Upacara kematian diselnggarakan dengan mewah dan menelan biaya sangat besar. Upacara kematian untuk pejabat VOC atau pemerintah Hindia Belanda memerlukan pengerahan banyak tenaga dan pemikiran berbagai pihak. Pada masa kejayaan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda, upacara yang berhubungan dengan kematian seorang pejabat tinggi masyarakat Batavia, upacara kematian adalah upacara yang penuh gengsi dan kemegahan di samping sebagai momentum keakraban.

Apabila peti mati sudah siap,jasad orang yang meninggal dibaringkan di dalamnya dengan pakaian bagus beserta semua tanda kebesarannya. Apabila seluruh keluarga dan para pelayat yang terhormat hadir, disekitar peti mati diletakkan lilin. Ditempat ini, para tetangga, handai taulan, serta orang yang diswa untuk menunggu sampai datang hari pemakaman. Pakaian para sais, tukang pikul peti mati, para budak berupa pakaian duka cita. Kereta peti mati, banyal dan korden semua berwarna hitam. Lambing-lambang keluarga dibuat dan digantung diatas peti mati. Surat berita kematian dan belasungkawa dicetak dan disebarluaskan kepada semua pihak.

Surat kematian biasanya ditandai dengan hiasan pinggi warna hitam, surat ini khusus untuk dikirim kepada sahabat kenalan diluar kota. Surat berita duka ini dicetak mewah, lebih besar ukurannya dan digunakan timah emas untuk hiasan serta tulisan dengan ongkos cetak yang mahal. Pada 1753 dikeluarkan peraturan perundangan yang mengatur ukuran surat duka dan penggunaan gelar kepangkatan dan gelar. Pekerjaan mereka tidak saja berdo’a atau bertugas dalam pemakaman, tetapi juga melakukan bergai kegiatan. Setelah berita duka diterima tugas mereka adalah memberitahu tetangga kemudian dengan telitai, sesuai dengan kepangkatan, gelar dan jabatan si pemilik alamat yang dituju, biasanya adalah anak saudara si mati.mereka harus mengetahui teman dan sahabat orang yang meninggal.

Kemudian, bidder menyusun urutan tokoh yang akan mengikuti iring-iringan pengantar jenazah ke pemakaman. Tokoh-tokoh itu dapat ikut “menangisi” jenazah. Iring-iringan pengantar jenazah demikian banyak, mereka berjalan diatas tanah yang kering dan berdebu sehingga debu berterbangan seolah-olah baru dilewati truk besar yang bunyi menderu-deru. Bagi mereka, gambarang adegan semacam ini bernuansa agung.

Peti jebazah dihias dengan sangat bagus, berupa hiasan ukiran dan tulisan indah berisi puji-pujian dengan hiasan lambing berwarna keperakan. Pada 1734 digunakan tenaga pemikul tetap yang dibayar dengan jumlah tertentu. Mereka ditugaskan oleh garnisun, yaitu seorang kopral dengan 12 serdadu yang mengenakan seragam hitam. Kemudian seorang opsi ditunjuk untuk memimpin upacara.

Ada suatu hal yang baru. Ketiak aVan Outhoorn meninggal pada 1720, kereta jenazahnya ditarik oleh dua ekor kuda. Sebelumnnya semasa pemakaman Zwardecroon (gubernur jenderal), semua pengiring jenazah berjalan kaki sehingga banyak orang tua yang kelelahan. Kemudian bidders juga naik kereta dan para pemikul peti mati berjalan mendampingi kereta jenazah. Kemudian jumlah kereta pengiring juga diatur dengan undang-undang, demikian juga jumlah lilin dan obor yang dibawa ke makam.

Suatu keagungan bila pemakaman dilakukan pad asaat hari sudah gela. Iring-iringan pengantar jenazah datang di pekuburan pukul enam sore hari. Jumlah lilin dan obor kadang mencapai 130 buah sehingga member suasana megah, tetapi juga biaya yang besar. Pidato-pidato pada saat pemakaman ditiadakan karena orang sudah lelah, malah ad ayang ketakutan pada roh-roh jahat penghuni kuburan.
Setelah sampai dirumah duka, diadakan makan bersama untuk keluarga orang yang meninggal, terutama untuk pemikul jenazah dan sanak saudara. Pada waktu itu sudah ada perusahaan yang menyediakan peralatan kelengkapan upacara pemakanman, seperti baju upacara pemakaman berupa mantel panjang dan pendek,korden,obor dan sebagainya. Peraturan tentang pemakaman diterbitkan Java Courant tanggal 1 juli 1846. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pemakaman boleh dilakukan sesudah pukul enam malam dengan menggunakan obor. Selesai pemakaman, keluarga tinggal di rumah duka beberapa hari.

Untuk tanda kasih kepada orang-orang yang ikut bersusah payah dalam upacara, seperti pemikul peti jenazah, keluaraga orang yang meninggal member kenangan berupa kotak tempat tembakau dari perak bertuliskan nama orang yang meninggal, sepasang sendok garpu serta sebuah piring kenangan (gedachtenispiring). Ada pula kenangan berupa sschotelje (botol kecil dari perak berukir) berbentuk bulat, segi delapan atau segi empat. Di samping itu masih ada honorarium bagi para pemikul jenazah dan sais kereta.

Selain itu, dibuat gedagtenispeningnen (semacam medali kenangan) yang dibuat dari bahan emas atau perak. Medali keangan dan piring kenangan digunakan sebagai tanda kenangan kepada orang yang meninggal.Di museum Sono Budoyo Yogyakarta masih tersimpan beberapa piring peringatan kematian dari keluarga sunan Surakarta dan Sulta Yogyakarta.

Biaya pemakaman memang sangat besar, tapi pemakaman mewah tetap diadakan demi citra seorang pejabat yang kaya. Valentjitn menyebutkan besar biaya pemakaman Speelman tidak kurang dari 10.000 rds. (ringgit), sedangkan untuk Antonio Van Diemen tidak kurang dari 5.275 gulden.

Batu nisan yang dibuat sangat indah juga merupakan salahsatu penghormatan bagi si mati. Sejak lama di Batavia sudah ada senia kerajinan batu nisan. Pada awal kehadiran kompeni, batu nisan banyak didatangkan dari Koromandel,dibuat dari jenis arduin biru atau kunststeen biru, yaitu jenis batu yang keras. Lambang keluarga dipahat pada bagian atas, dilingkari karangan bungan dan rozet. Batu nisan dengan gaya ragam hias seperti itu adalah karya pengrajin tradisional Jawa, tetapi huruf-huruf yang dipahat adalah hasil buah tangan bangsa eropa.

Yang menarik mengenai nisan ialah tentang adanya hubgan seni pahat batu nisan dengan keahlian pahat kayu para pembuat perabot rumahtangga (meubilair). Pada akhir abad ke-18 terdapat kesukaan memadu gaya seni hias dari Timur (Jawa), dan mengambil unsur-unsur gaya Eropa sehingga tercipta gaya sesuai dengan citra sendiri (gaya dan citra Indis). Gaya dan bentuk itu merupakan pencampuran hiasan bunga dan sulur tumbuh-tumbuhan menghias juga pada batu nisan.

Batu-batu hias pada ragam hias di makam-makam bangsa Eropa zaman VOC tidak saja didapatkan di Indonesia, tetapi juga di berbagai tempat, dimanapun BOC pernah menjejakkan kakinya. Diantara batu nisan juga didirikan patung-patung dari batu pualam sehingga suasana makam tidak terasa angker. Tanaman dan bunga-bunga yang ditanam rapi member suasana tenang. Gambaran tentang upacara kematian tersebut merupakan gambaran gaya hodup dan kebesaran, serta keagungan yang menjadi cirri dari mata rantai hidup mewah masyarakat Indis yang feudal, mulai dari kelahiran sampai kematiannya.



BAB IV
LINGKUNGAN PERMUKIMAN MASYARAKAT EROPA, INDIS DAN PRIBUMI

A. Sumber – sumber tentang pola lingkungan permukiman
Sumber – sumber pola lingkungan permukiman banyak ditemukan di berita tertulis hasil buah karya orang Jawa, Belanda(Eropa), serta orang asing lainnya. Selain itu, terdapat peninggalan bangunan yang hingga saat ini masih digunakan dan dipakai juga dalam keperluan lainnya. Sumber berita juga sebagai salah satu faktor kuat pola lingkungan contohnya dari peneliti , musafir, pejabat VOC dikala itu , diantara mereka juga meberiakn sentuhan karya sperti lukisan , sketsa, dan hasil dokumentasi (fotografi).
1. Berita dan Karya Tulis
Berita tertulis berkembang sudah lama sejak abad ke 19. Dalam disertasi F.A. Soetjipto tentang kota – kota pantai disekitar Sel. Madura yaitu informasi dari pribumi, karya tulis itu semua ditulis di daerah pantai (pesisir) dan pedalaman pulau Jawa.
Adapun beberapa karya tulis yang berisikan perjalanan R.M. Poerwolelono. Kitab – kitab tersebut memberitakan dan menerangkan keadaan berbagai aspek kehidupan suku jawa , dan secara tidak langsung juga memberikan tentang kota , rumah adat sejarah dan sebagaimananya.
2. Sumber Tertulis dari Bangsa Eropa
Sumber tertulis tentang Pulau Jawa yang berupa cerita atau laporan perjalan sudah ditulis orang eropa sebelum abad ke 17. Adapun yang khusus ditulis pada abad ke 18 dan abad ke 19 cukup banyak. Kebayakan tulisan itu masih berupa manuskrip yang tersimpan di gedung arsip di Indonesia. Manuskrip yang berupa berita tentang kota dan kehidupan masyrakatnya pada abad ke 18 dan abad ke 19 banyak ditulis dalam kisah perjalanan di Hindia belanda, khususnya Jawa. Karya dari pengalaman pribadi itu sangat mengasyikan untuk dibaca dan menambah wawasan gambaran hidup sezaman yang meliputi tujuh unsure pokok universal kebudayaan indis di Jawa.
3. Berita Visual
Berita Visual berasal dari karya lukisan , sketsa, grafis dan potret. Selain berita dari karya – karya tulis yang sudah disebutkan pada sub – bab sebelumnya, penggambaran kota, pemukiman dan perumahan dapat juga diikiuti secara visual lewat lukisan para pelukis eropa yang datang ke Indonesia. Karya – karya tulis itu terlahir dari perjalanan, pelayaran atau ekspedisi. Karya mereka berupa lukisan kota – kota pantai, seperti Batavia, Jepara, Banten, Gresik , dan lain sebagainya.

4. Karya Berupa Fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan di gedung KITLV Leiden dan berbagai Museum Di belanda . Kebanyakan dari fotografi ini adalah lukisan yang mana berisi keadaan negeri yang dikunjungi serta kenangan suatu peristiwa disuatu tempat , selain itu juga menjelaskan budaya suatu tempat ; adat istiadat , rumah adat.
Dalam fotografi ini menjelaskan dalam tujuan dari mereka melukis dan memperdalam fotografi seperti ; petualangan suatu tempat, penelitian, serta pendalaman pengetahuan.

B. Mengamati Seni Bangunan Rumah dari hasil Karya Seni Lukis, Pahat, Foto dan karya Satra
Mengenal kembali suatu hasil seni bangunan rumah dari masa silam yang umumnya sudah rusak merupakan hal yang menarik. Menarik karena materialnya yang lapuk dimakan zaman, diubah bentuknya atau dirombak karena tidak sesuai lagi dengan selera zaman, kecuali dari bangunan aslinya atau reuntuhannya, dapat pula dari benda benda lain.

C. Pola Permukiaman Masyarakat Indis di Kota, Provinsi dan Kabupaten Di Jawa
Pengertian kota dan macam- macam jenis kota sudah ditulis oleh beberapa sarjana. Adapun hal yang menarik yang dilihat dari kota wala Indonesia , Indonesia memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan ksomologis dengan pola – pola sosial budaya .

D. Upaya Mencukupi Kebutuhan Perumahan Kota
Perkemabangan dan Perluasan kota – kota besar di Jawa dan diberbagai tempat menimbulkan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Hal demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah. Berbagai upaya masyrakat pun dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Akhirnya dari kesulitan itu terlahirlah keberhasilan dalam mengatasi kesulitan mendirikan rumah – rumah baru sangat memudahkan mereka mengatur tata ruang kota.



BAB V
Tinggal Ragam Hias Rumah

A. Tentang Hiasan Rumah Tinggal

Arsitektur rumah tinggal merupakan suatu bentuk kebudayaan dimana arsitektur itu sendiri dianggap sebagai perpaduan antara karya seni dan pengetahuan tentang bangunan yang membicarakan aspek-aspek tentang keindahan dan juga konstruksi bangunan. Marcus Vitruvius merupakan orang yang pertama kali mencetuskan konsep ini yaitu Bangsa Romawi, dimana pengetahuan ini ia peroleh dari nenek moyangnya yang Karyannya berjudul De Architectura Libri Dacem.
Pada awal abad ke-15, lahir gerakan Renaisans yang menggungah banyak orang untuk meneliti dan mempelajari teori-teori arsitektur dan kebudayaan yunani-romawi kuno. Kemudian pada tahun 1414 di Perpustakaan Saint Gall Monestry, Pagio Braccioli beruntung menemukan manuskrip asli Vitruvius dan menyerahkannya kepada temannya Leone Batista Alberti seorang ahli sastera dan budaya klasik Yunani. Kemudian Alberti menulis kitab yang berjudul De Re Aediri Catoria yang terbit pada tahun 1485 yang dijadikan sebagai karya Posthumous di Florence, kemudian diteruskan oleh Giocomo Barozi dan Vignola ( 1564 ) yang akhirnya buku tersebut dipakai sebagai pegangan atau pedoman arsitektur selama beberapa abad dan kemudian pada abad ke-16 Kitab B. Albert menjadi sangat terkenal yang dikembangkan oleh Andrea Palladio di Vicenza.
Menurut Marcus Vitruvius Pallio didalam arsitektur terdapat tiga unsur dimana arsitektur dapat dikatakan suatu karya seni, yaitu;
a) Kenyamanan ( convenience )
b) Kekuatan atau kekukuhan ( strength )
c) Dan Keindahan ( beauty )
.
Layaknya seniman pemahat patung, seorang arsitek juga menciptakan karya dimensi dimana ornamen atau ragam hias berhubungan dengan segi keindahan suatu bangunan yang merupakan salah satu elemen dalam dunia arsitektur.
Beberapa abad lalu, arsitektur Eropa identik dengan gaya Renaisans, Barok, Rokoko, Empire dan sebagainya. Gaya arsitektur tersebut banyak menerapkan ragam hias atau ornamen yang mampu menonjolkan ekspresi alami pada bangunan, dan dengan adanya ornamen orang-orang yang melihat dapat merasakan keindahannya.
Abad ke-19 di kenal sebagai periode eklektik, yaitu suatu periode gaya hidup yang menerapkan cara pandang serba praktis. Pada periode ini orang lebih mementingkan fungsi dari pada nilai seni sehingga ornamen atau ragam hias tidak dianggap penting lagi. Karya seni diciptakan bukan lagi bertujuan untuk menghadirkan keindahan atau seni murni (pure art), tapi melainkan meniru karya seni yang memiliki fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak saat itu pula arsitek juga mulai membuat model bangunan dengan cara meniru karya seni murni. Ornamen bangunan diciptakan dengan meniru karya seni masterpiece yang sudah ada serta banyak bagian bangunan yang dibuat dengan cara menjiplak dengan bahan tanah liat atau gips, sehingga benda arsitektur jadi bernilai rendah dan hilangnya makna keindahan seni. Kala itu banyak arsitektur bangunan yang dibuat sebagai produk industri, hal inilah yang kemudian membuat para arsitek mencari bentuk lain dari seni karena bagi mereka tidak lagi harus berupa ornamen wajah manusia atau makhluk hidup lain.
Pada tahun 1938,seorang sarjana bernama Walter Gropius menyebutkan bahwa sepanjang pengetahuannya, ornamen yang memiliki keindahan harmoni sepanjang masa umumnya merupakan hasil karya jenius umat manusia yang penuh perasaan. Karya seni seperti ini hanya dapat diciptakan jika manusia dapat mendalami jiwa dan perasaan, memahami keindahan alam sekeliling, serta selalu mencari dan menerapkannya dalam hati nurani.
Masyarakat yang sudah berkembang memiliki karakteristik lebih cenderung menunjukkan perasaan pribadinya, sehingga hasil karya arsitektur dan benda berornamen yang mereka buat mencerminkan peradaban dan sifat alamiah masyarakatnya. Pada masa terakhir ini yang ditekankan bukan lagi pandangan individu melainkan bentuk ekspresi kreatif masyarakat umum bukan selera pribadi.
Sementara itu, ada pendapat yang menyebutkan bahwa ornamen digunakan karena diilhami dua faktor, pertama faktor emosi, dan kedua faktor tekhnik. Faktor emosi, yaitu hasil cipta yang didapat dari kepercayaan, agama dan magis (untuk mendapat kekuatan gaib) yang merupakan kekuatan alami. Pada bangsa-bangsa yang sederhana, kegiatan mencipta dilakukan untuk kepentingan kepercayaan dan untuk mendapatkan daya magis serta untuk mendapatkan kekuatan atau sebagai simbol. Hal tersebut tampak pada gambar binatang, tapak tangan, dan sebagainya yang dilukis dengan menggunakan gaya naturalis di dalam gua-gua prasejarah.
Dengan demikian, arsitektur modern diciptakan tanpa menggunakan hiasan seperti pada masa prasejarah. Dengan tujuan supaya berbeda dengan bangunan gereja-gereja lama atau tanpa ada suatu pandangan simbolik lainnya. Demikian halnya untuk hiasan kepala-kepala tiang, misalnya hiasan voluut (ikal) untuk kepala tiang gaya Ionia (berasal dari simbol tanduk kambing ram), atau garuda dari masa Barok dan bentuk kerang (siput) pada Rokoko yang dianggap sebagai hiasan semata tanpa diberi arti simbolik dibelakangnya. Dengan demikian, pada masa kini hubungan emosional sudah ditiadakan.
Bart Van der Leck di dalam tulisannya yang berjudul The Place of Modern Painting in Architecture, berpendapat bahwa pada suatu waktu, seni lukis terpisah dengan sendirinya dari arsitektur dan berkembang dengan bebas. Jiwanya sama halnya dengan bentuknya, juga berubah sehingga mempunyai ciri atau karakter sendiri. Hal ini bisa terjadi karena adanya eksperimen atau percobaan-percobaan yang akan meniadakan sesuatu yang tidak alami dan menjauhkan diri dari ide-ide lama, sehingga dibutuhkan adanya perencanaan dan penuangan berbagai keinginan dalam hal ini dimana seorang arsitek menghendaki adanya kemudahan sebagai rencana praktis dalam mencipta.


Lima indikasi dalam seni bangunan dan seni lukis:
1. Seni lukis modern adalah karya seni yang meninggalkan naturalisme yang terdapat pada seni plastis (pahat patung), seni ini bertolak belakang dengan bentuk plastis yang terdapat pada arsitektur yang naturalis.
2. Seni lukis modern bersifat bebas, terbuka, dan berlawanan dengan seni arsitektur yang cenderung terikat oleh bentuk kebutuhan alami dan lingkungan sekelilingnya.
3. Seni lukis modern penuh dengan warna-warna dan bidang yang bertolak belakang dengan arsitektur yang sedikit menggunakan warna seperti karya lukis.
4. Seni lukis modern, meliputi proses penciptaan bentuk plastis pada bidang datar yang menghasilkan sesuatu yang kontras dengan permukaan bidang datar yang terbatas pada bangunan.
5. Seni lukis modern memberi bentuk plastis pada bidang datar dengan pertimbangan yang tepat dan imbang (contrasted with balanced support and weight).

B. Bentuk Atap dan Hiasan Kemuncak
Pada masa awal abad ke-20, pembuatan rumah Jawa tradisional dan hiasannya berbeda dengan pulau sekitarnya, yaitu Bali dan Sumatera terutama dalam mendirikan rumah. Orang Jawa jarang menghias rumahnya dibandingkan dengan orang Sumetera yang membangun rumahnya dari bahan kayu dan orang Bali membangun rumahnya dari bahan tanah liat yang dijemur atau dengan batu bata.
Di Jawa Barat, bangunan rumah masih patut disebut rumah dibandingkan di Jawa Timur dan Jawa Tenggah yang bangunan rumah rakyatnya jauh lebih sederhana. Hanya dipusat-pusat pemerintahan atau keramaianlah terdapat rumah batu seperti keberuntungan atau kesejahteraan dalam kehidupan orang Cina atau Arab yang rumahnya lebih terpelihara dan dilengkapi dengan perabotan serta terdapat ruang-ruang pribadi (eigendommen).
Rouffaer berpendapat, bahwa untuk wilayah Jawa Tenggah, Kayu jatilah yang terbaik karena yang terbagus dan banyak terdapat di Jawa Tenggah. Menurut Rouffer, bangunan dengan perekat (leembouw) yang terdapat di Jawa dan Bali yang diajarkan oleh orang Hindu tidaklah tepat untuk daerah beriklim kering. Di beberapa desa di Jawa dan Madura misalnya, disebutkan bahwa orang tidak mengenal minyak tanah, hidup tanpa korek api, tidak mengenal lampu gantung seperti di Eropa serta tidak pernah mendengar atau melihat mesin jahit.
Di Jawa dan di Indonesia umumnya, bentuk atap bangunan rumah merupakan penentu nama sesuatu gaya bangunan rumah, seperti Gaya Gotik merupakan nama sindiran atau cemoohan dari orang-orang Italia masa Renaisans terhadap bangunan dari abad pertengahan yang dinilai rendah dibanding dengan seni klasik Yunani-Romawi kuno. Adapun gaya Lodewijk, adalah gaya atau nama yang diberikan berhubungan dengan Dinasti Louis atau raja yang sedang berkuasa di Prancis. “Empire Stijl” adalah nama yang diberikan kepada penguasa atau kaisar yang sedang berkuasa, digunakan pada periode kekuasaan Napoleon Bonaparte. Dengan penonjolan-penonjolan tersebut, terdapat suatu mazhab (school) yang merupakan karya dari suatu kelompok seniman dengan memberi corak yang agak berbeda dari bentuk induknya. Seperti di Negeri Belanda terdapat sekelompok bangunan gaya Renaisans yang memiliki ciri-ciri khusus untuk Kota Amsterdam, berbeda dengan gaya Renaisans yang terdapat di Kota Harleem yang diberi nama Haarlemse School. Sementara itu J.J.Vriend dalam bukunya Stijlen in de Bouwkunst, menyebutkan bahwa abad ke-9 sering disebut sebagai periode “eklektivisme” yaitu masa mencari-cari dan membandingkan. Pada abad ke-19 tidak hanya bidang seni yang menonjol dalam bidang arsitektur, namun ilmu tekhnik juga sangat berperan. Masa itu dianggap sebagai masa menuju “perioede peralihan” yaitu periode produk-produk massal secara masinal sebagai gaya tiruan atau gaya imitasi. Ruskin dan Moris menduga bahwa pada 1860 terdapat adanya usaha untuk menghidupkan kembali tradisi dalam karya seni atau kerajinan, dan semua ini berperan dengan orang-orang kaya sebagai pemberi order. Karya Berlage yang terkenal “Kopmansbeurs”, merupakan contoh hasil karya pembaruan secara besar-besaran di Belanda.
C. Hiasan Kemuncak tadhah Angin dan sisi Depan rumah
Di Indonesia, khususnya Jawa, hiasan dibagian atap rumah kurang mendapat perhatian, kecuali pada bangunan peribadatan. Pada bangunan Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai tersendiri.Banyak rumah penduduk di Demak, Jawa tengah, pada bubungan atapnya terdapat hiasan berupa deretan lempeng terracotta yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet – deret dengan gambar gunungan tepat ditengah – tengah.
Rumah – rumah Minangkabau berkemuncak seperti tanduk kerbau di samping hiasan pahatan pada bagian – bagian dindingnya seperti halnya rumah rakyat Batak karo.Kerbau merupakan binatang keramat pada masa prasejarah Indonesia. Sampai sekarang, ragam hias kepala kerbau atau bagian tanduknya masih sering digunakan untuk hiasan. Tradisi menyebutkan bahwa hiasan kepala kerbau atau tanduknya adalah lambing kesuburan tanah dan juga sebagai penolak roh – roh jahat. Berdasarkan kepercayaan Mesir Purba, Dewi Matahari (Ra) digambarkan dengan lembu bertanduk panjang,sementara itu nama Alexander Agung atau Iskandar Zulkarnain berarti “ Iskandar yang bertanduk dua”. Di dalam mitos, Iskandar digambarkan sebagai seorang pahlawan yang bertanduk.
Di negeri Belanda, hiasan kemuncak yang berupa penunjuk arah angin dengan bermacam-macam bentuknya seringkali menunjukkan macam usaha , misalnya bentuk jantera alat pintal (roda alat tenun) terdapat di Kota Leren.Para pelaut sering menggunakan penunjuk arah angin dengan lukisan perahu penangkap ikan dan perahu Viking di Rotterdam.Gambar seorang prajurit, pemburu, nelayan, bahkan dewa-dewa zaman dulu seringkali digunakan sebagai hiasan. Dewi Fortuna yaitu Dewi Keberuntungan orang Belanda menyebutnya De Fortuin terpancang besar sekali di Beschuit Bakkerstooren di Wormer. Cara membuat dan meletakkan hiasan kepala kerbau pada bangunan - bangunan di Batak atau Sulawesi misalnya, disertai dengan upacara khusus dan pembuatannya tidak dikerjakan oleh sembarang orang. Berbagai selamatan, tabu dan ritual menyertai peletakan kemuncak bangunan.
Tentang hiasan kemuncak bangunan sacral seperti mesjid, gereja, pura atau candi mempunyai arti sendiri baik sebagai symbol maupun kepercayaan dan keagamaan. Kemuncak bangunan mesjid di Jawa lazim disebut mustaka atau Mustika Masjid. Pada kemuncak atap berbentuk meru inilah diletakkan mustaka mesjid. Dalam mitologi Hindu dan Yunani kuno, bahwa khayangan tempat tinggal para dewa terletak di gunung Olympus.
Hiasan bangunan kemuncak Gereja, setelah zaman Gothik berakhir tidak selalu berupa palang salib, tetapi dapat berupa tongkat yang runcing pada ujungnya, seperti lambang menunjuk ke tempat suatu arah diatas yang berarti “tertinggi” atau “Yang Esa”. Gereja tertua yang menggunakan penunjuk arah angin antara lain di Prancis sejak 1250, di Belanda sejak abad ke 14, di Inggris Kathedral Eckingham dari tahun 1412. Pada windvaan di gereja ini, diletakkan peluit sehingga apabila tertiup angin yang keras, peluitnya berbunyi nyaring. Gereja juga menggunakan hiasan ayam jantan untuk mengisi tongkat dan penunjuk arah mata angin. Dulu orang menyebut Zo’on windvaan atau Gallus ( ayam jantan )sebagai gambar hiasan ventilogum ( penunjuk arah angin ).Jadi, lukisan ayam jago ini sebagai lambang kemenangan, seolah-olah seperti ayam jantan berkokok “meneriakkan kemenangan” sesudah berlaga.
Ragam hias dibuat tidak hanya untuk keindahan, tetapi juga dapat menjadi suatu ciri bangunan. Misalnya, bunga kubis atau daun kaktus merupakan ciri menghias bangunan gereja, huruf Arab Kaligrafi dengan bentuk arabesk merupakan ciri hiasan mesjid.
Rumah yang didirikan sebelum abad pertengahan di begeri Belanda, juga bangunan rumah semasa zaman Gotik, Umumnya sisi depan atap rumah gaya indis berbentuk runcing menjorok kedepan (ttuitgevel) , suatu bentuk yang lazim digunakan untuk bangunan gudang (pakhuizen), yaitu menggunakan tadhah angin berbentuk segitiga(tijmpanon) dengan diberi pelipit papan kayu dengan hiasan pada puncaknya.Tympanon ini berbentuk segitiga, bagian atas disebut voorschot yang terdiri atas papan papan kayu yang disusun vertical. Hiasan pada bagian voorgevel merupakan tempat hiasan yang utama, khususnya pada geveltop atau makelaar yaitu balok vertical dari atas puncak (nok) pada windveren sampai kebawah hingga dasar voorschot.
Berikut pembahasan ragam hias dan arti simbolik yang berasal dari budaya Belanda yang banyak menghias bangunan rumah gaya Indis di Jawa. Banyak rumah petani di Belanda menggunakan hiasan yang disebut runeteken sebagai simbol kesuburan, misalnya kerbau atau sapi yang kemudian distilisasi berbentuk huruf “M”. Lambang ini timbul sekitar tahun 800 dan seringkali dilukiskan dalam bentuk bunga tulip atau leli pada saat ini.
Pada abad ke-18 banyak petani di Friesland menjadi petani yang besar dan makmur, dan untuk mensyukuri kebahagiaan itu diciptakan suatu karya seni yang dipamerkan pada benda-benda hiasan dalam bentuk angsa yang juga dilukiskan pada oelebord sebagai tanda abad keemasan Friesland dalam abad ke-17.
Atap yang menjorok memberikan kesan adanya garis warna yang tajam seperti di daerah pertanian Twente, tiap rumah petani dihiasi dengan lukisan tokoh perwujudan dari kepercayaan masyarakat setempat berwarna putih dari bahan kayu. Gambar-gambar ini diilhami bentuk yang sedang menjadi mode, yang kadang terdapat pada depan dan belakang rumah. Umumnya puncak tadhah angin (tympanon) berhiaskan mahkota dengan motif-motif ideal, dekoratif dan simbolik, tetapi yang selalu menjadi pilihan ialah lambang yang dianggap memiliki kekuatan di atas kemampuan manusia (supernatural) yang merupakan suatu kenyataan yang tertinggi dan mendalam pada kehidupan manusia.
Ada tiga babakan waktu dalam sejarah lambang yang dipahatkan pada papan lis tadhah angin (tympanon) yaitu:
1) Lambang dari masa Pra-Kristen (zaman kekafiran Jerman), seperti gambar pohon hayat, kepala kuda atau roda matahari dan juga salib pada masa Kristen.
2) Masa Kristen, berupa lambang gambar salib, gambar hati (hart), dan juga jangkar (angker).
3) Khusus lambang-lambang dari agama Roma Katolik, yaitu berupa miskelk dan hostie.
Beberapa di antara lambang ada yang dilukiskan dalam bentuk yang kurang umum, misalnya yang terdapat di Irmenzeil yaitu berbentuk seperti sebatang tombak yang sederhana dan ada juga berbentuk sebuah roda alat pintal (spinwiel) yang mengisyaratkan bahwa rumah itu milik pengrajin tenun.
Untuk kota Twente, lambang bola matahari dan bulan yang merupakan benda angkasa dianggap sebagai dewa kesuburan dan juga memberi kemampuan untuk tumbuh. Untuk gambar matahari digambarkan sangat sederhana dan bulan diwujudkan dengan tiga perwujudan semu, yaitu dua bulan sabit dengan di tenggah-tenggahnya ada tanda +, atau garis silang x untuk bulan penuh. Beberapa gambar bulan terkadang dihubungkan dengan lambang-lambang Kristen lainnya, seperti ikan (Ichtus) sebagai lambang tertua dari agama Kristen. Dalam perluasan ajaran agama Kristen, tidak mudah untuk menghapuskan kebiasaan-kebiasaan kuno (kafir) yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat. Dan dengan diupayakannya tambahan motif-motif nasrani dapat mengubah bentuk-bentuk lambang lama yang masih dipelihara masyarakat dengan begitu masa peralihan perwujudan tokoh lama tersebut tidak tersisihkan sama sekali. Namun berbeda dengan matahari dan bulan yang masih tetap dipelihara dengan baik yang kebanyakan tidak lagi diartikan sebagai simbol tetapi sebagai lambang keagamaan, seperti digambarkan di hosti dan kelk (piala untuk upacara agama nasrani) yang bisa ditemukan di wilayah Albergen dan Geeesteren, Volte dan Dulder dan sebagainya.
1. Macam-macam Hiasan Kemuncak dan Atap Rumah
a. Penunjuk Arah Tiupan Angin (windwijzer)
b. Hiasan Puncak Atap (Nok Acroterie) dan Cerobong Asap Semu
c. Hiasan Kemuncak Tampak-Depan (Geveltoppen)
d. Ragam Hias Pasir dari Material Logam
2. Ragam Hias pada Tubuh Bangunan (Topgevel)
Selain terdapat di kemuncak (topgevel) dan tadhah angin (tympanon), ragam hias juga terdapat di bagian tubuh bangunan, misalnya lubang angin pada rumah gaya Indis di Jawa hanya dihias sederhana saja yaitu lukisan beberapa anak panah yang ujung-ujungnya menuju ke arah pusat meliputi batang tiang gaya Doria, Ionia, dan Korinthia. Gaya Doria digunakan karena sesuai watak dan jiwa bangsa Doria yang berjiwa militer, karena kokoh, kuat, perkasa, sekaligus sebagai lambang kekuasaan sehingga gaya Doria dominan sebagai hiasan bangunan pemerintahan atau penguasa. Sementara itu, gaya Ionia sesuai dengan watak jiwa bangsa Ionia yang menyukai keindahan dan keserasian dengan menciptkan bentuk bangunan penuh dengan hiasan keindahan tanpa meninggalkan lambang kekuasaan. Gaya Korinthia diciptakan oleh para penguasa Kota Korinthia yang kaya dan makmur pada abad ke-5 sebelum masehi, yang ingin menunjukkan kekayaan, kemakmuran, dan kemewahan. Dengan meminta seniman bernama Kalimachos (berasal dari Korinthe) yang mendapat ilham dari bunga akantus sebagai polanya, untuk mencipta tiang bangunan gaya Korinthia dengan melambangkan keindahan dan kemewahan penguasa kaya. Gaya Ionia dan orinthia banyak digunakan untuk menghias bangunan-bangunan besar dan megah milik para raja atau pengusaha jajahan, khususnya untuk batang-batang tiang sisi dalam bangunan, seperti di Jawa terdapat di Istana Presiden di Jakarta, Gedung Agung di Yogyakarta, serta Pagelaran Keraton Surakarta dan Yogyakarta.


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

Kebudayaan indis merupakan hasil perpaduan dua kebudyaan, yaitu Indonesia dan Eropa. Kebudayaan campuran ini mencakup ketujuh aspek unsure universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki oleh semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan prasejarah, kebudayaan Hindu-buddha, dan kebudayaan islam di Indonesia. Sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indonesia.
Penulis merasa tidak mampu meneliti dan mengamati kebudayaan Indis yang masih tetap berkembang di Belanda. Semoga ada peneliti lain yang bersedia meneliti kebudayaan Indis di Belanda, sehingga pemahaman tentang kebudayaan Indis makin luas.
Istilah “Indis” yang dirasa berkonotasi sebagai hasil kebudayaan yang rendah dari masa penjajahan tidaklah perlu dirisaukan lagi, sebab Indonesia telah merdeka dan memproklamasikan kemerdekaanya. Selain itu, kerisauan itu tidak perlu karena kebudayaan Indis adala hasil cipta masyarakat keturunan Indonesia dan Barat (Belanda). Jadi kebudayaan Indis adalah kebudayaan Indonesia juga.
Uraian disertasi yang mencakup tujuh unsure universal kebudayaan dari kebudayaan Indis ini barang tentu dapat menguraikan perkembangan struktur masing-masing secara rinci.
Setelah mengamati dan mengikuti perkembangan kebudayaan Indis, khususnya gaya hidup, karya seni, dan budaya masyarakat pendukungnya, penulis perlu menyampaikan saran-saran untuk mendapatkan perhatian dan tindak lanjut pelestariannya. Dua hal yang penulis mohonkan perhatian adalah sebagai berikut.
a. Berhubungan dengan seni karya budaya jasmani
1. Seni bangunan
Bangunan - bangunan gayta Indis yang memiliki nilai histiori, arkeologis, dan estetis serta mewakili zamannya, patut dilestarikan, diteliti, dan diselamatkan. Diantara berbagai gaya dan seni bangunan yang pernah berkembang di Indonesia,seni bangunan gaya Indis memperkaya keindahan kota-kota Indonesia.

2. Karya seni rupa dan seni kerajinan
Barang-barang karya seni rupa gaya Indis yang terdiri dari seni lukis, seni patung (relief) dan seni kerajinan, (termasuk senu jauhari,yaitu kerajninan membuat perhiasan dari emas, perak dan batu mulia) tidak banyak menjadi koleksi museum-museum di Indonesia.

b. Berhubungan dengan karya budaya rohani
Hasil budaya dari masa Hindia Belanda oleh sebagian orang ada yang dianggap sebagai sesuatu yang negaif, misalnya : merendahkan derajat orang kulit berwarna, bahkan mendidik jiwa menjadi feudal dan sempit. Akan tetapi, sesungguhnya peninggalan budaya yang positif pun cukup banyak,antara lain : upaya mencerdaskan bangsa, disiplinmenghargai waktu , menyenangi kebersihan dan sebagainya. Budaya Indis yang bersifat positif patut diteruskan dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia.

KESIMPULAN
Adanya latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan dapat melahirkan perbedaan pemikiran. Namun demikian, perbedaan pemikiran itu hendaknya tidak melulu menjadi suatu perdebatan di antara masyarakat. Perbedaan itu hendaknya menjadi kekayaan bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang heterogen.
Itulah hal yang terlihat pada kebudayaan indis , Kebudayaan indis merupakan hasil perpaduan dua kebudyaan, yaitu Indonesia dan Eropa. Kebudayaan campuran ini mencakup ketujuh aspek unsure universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki oleh semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan prasejarah, kebudayaan Hindu-buddha, dan kebudayaan islam di Indonesia. Sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indonesia.
Adapun “Isi” kebudayaan, menurut para antropolog, ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. “Isi” kebudayaan Belanda yang datang memperkaya Indonesia dalam konteks tujuh unsur budaya universal itu ialah:
1. Bahasa (lisan maupun tertulis),
2. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (antara lain: pakaian, rumah, senjata, alat transportasi, alat produksi dan sebagainya),
3. Mata pencaharian hidup dan system ekonomi (pertanian, perternakan, system produksi dan sebagainya),
4. System kemasyarakatan (contohnya: organisasi politik system kekerabatan, system hokum, system perkawinan dan sebagainya),
5. Kesenian (seni rupa, seni sastera, seni suara, seni gerak dan sebagainya),
6. Ilmu pengetahuan,
7. Religi.
Dalam hal ini kita juga melihat kebudayaan indis mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.

SARAN

Dalam melihat kembali garis besar kebudayaan Indis yang terlahir dari kebudayaan bangsa Eropa dan Indonesia kami sebagai para pengamat hasil penulisan karya anak bangsa mendapatkan berbagai pengetahuan baik secara luas dan pemberitaan yang meyakinkan yang sangat membantu para pembaca. Buku in ini juga memberikan hal yang berharga dimana sejarah pengetahuan penggabungan budaya dari berbagai negara tertuang dalam sebuah ide dan seni yang bertanggung jawab.
Adapun karya dari beberapa seniman baik itu pelukis serta seni pahat dan seniman lainnya. Penggabungan itu juga bisa terlihat dalam hasil budaya adat istiadat, bahasa, rumah adat , pola perilaku dan masih banyak lagi. Pengetahuan ini juga merupakan karya terbesar di dunia, dimana kita menggabungkan lebih dari negara satu hingga ke negara lainnya.
Semoga hasil temuan dan karya seni ini tetap menjadi arah yang memperkuat dalam kerja sama dari satu negara ke negara lainnya (bilateral). Inilah yang menjadikan patokan dimana setiap bangsa memiliki kesamaan sifat, pola kerjasama, ataupun cara mengatur pola perilaku. Dan tak lain hasil pertemuan budaya ini akan tetap terjaga .

DAFTAR PUSTAKA

Soekiman. Djoko.” Kebudayaan Indis”.Depok: Komunitas Bambu, 2011
O.Sears, David, et all. “Psikologi Sosial”, Edisi Kelima-Jilid2. Jakarta: Erlangga, 1985
Sarwono, Sarlito Wirawan. “Psikologi Sosial”.Jakarta: Balai Pustaka, 2002



DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Salah Satu Hasil Budaya Indis (Foto dan Keterangan)



Budaya Indis atau Indies berasal dari kata Indische yang berarti Hindia. Budaya Indis berkembang sebagai bentuk kolaborasi antara budaya Barat (Belanda) dengan budaya Pribumi (khususnya Jawa). Semenjak bercokolnya Belanda di bumi Nusantara, pengaruh dan nilai-nilai asal Belanda bertemu dengan nilai budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya melahirkan satu budaya hibrida (emang kelapa) yakni budaya Indis itu sendiri.
Dari segi fisik, bangunan-bangunan berarsitektur campuran antara Belanda dan lokal (Jawa) mudah terlihat dimana-mana. Bangunan besar bersekat-sekat dan mempunyai kamar yang punya fungsi masing-masing, dan itu sangat berlawanan dengan esensi sebuah rumah bagi masyarakat lokal. Awal mulanya memang dominasi barat sangat nampak pada bangunan-bangunan tersebut, namun dengan berpadunya unsur lokal, maka lahirnya ciri bangunan Indis yang bahkan tidak dikenal di Negeri Belanda sekalipun. Karena disesuaikan dengan iklim Indonesia yang tropis. Bangunan-bangunan warisan budaya Indis ini masih bisa disaksikan hingga hari ini, termasuk diantaranya kawasan kota lama Semarang dan tetenger khasnya yakni Lawang Sewu.
Sementara dari segi budaya, orang-orang Belanda yang lahir di Hindia menunjukkan perbedaan karakter dengan saudaranya yang asli Belanda. Gaya hidup yang lebih santai, lebih rajin mandi, dan dari gaya berbusanapun juga berbeda sehingga sering mengejutkan orang Belanda yang baru datang ke tanah Hindia. Yang laki-laki berpakaian putih-putih dengan sarung atau juga celana putih sambil mengisap cangklong, sementara wanitanya memakai sarung dan kebaya sebagai baju sehari-hari dalam rumah. Namun jika dalam urusan resmi, mereka tetap berpakaian sebagaimana layaknya Belanda Totok. Gaya Indis juga banyak diikuti oleh kaum pribumi, utamanya dari kalangan terpelajar dan priyayinya. Terlihat dari kombinasi busana tradisional mereka dengan busana ala barat, serta etos kerja dan beberapa aspek budaya barat juga diadaptasi. Tradisi peletakan batu pertama dan pemancangan tiang bendera diatas atap rumah juga dianut, namun bagi orang Jawa sendiri sangat sulit diterapkan. Namun minimal, tata etika tetaplah dijunjung tinggi meski budaya dansa-dansi dan pesta minum ala Belanda juga ditiru.
Budaya Indis ini juga nampak dalam pola makan kedua masyarakat. Rijstafel dengan aneka makanan seperti sate, soto, pecel, bistik, nasi goreng dan lain sebagainya adalah hasil perkawinan antara dua budaya. Dan tradisi rijstafel ini masih dipertahankan oleh masyarakat Belanda keturunan Indo dalam bentuk festival Tong-Tong di Den Haag, serta restoran-restoran yang menyajikan masakan Indis.
Sementara dari segi kebahasaan, sempat muncul bahasa campuran yakni bahasa Petjoek yang kosakatanya dari bahasa Belanda, namun sistem tatabahasanya bahasa Jawa/Melayu. Selain itu bahasa Javindo juga muncul sebagai bahasa gaul dikalangan priyayi dan pejabat-pejabat dari kalangan pribumi serta kalangan Indo (peranakan Belanda-Pribumi). Namun sayang ragam bahasa Petjoek dan Javindo ini menghilang seiring dengan penjajahan Jepang dan merdekanya Indonesia dari penjajahan Belanda tahun 1945. Kelompok-kelompok pengusung budaya Indis ini banyak yang eksodus menuju Belanda atau negara lainnya. Sedangkan yang tertinggal secara berangsur terasimilasi dengan budaya baru yang tercipta pasca kemerdekaan.
Budaya Indis masih tetap terlihat jejaknya, baik dari arsitektur bangunan atau infrastruktur, makanan hingga cara berpakaian dan gaya hidup. Namun setidaknya pengaruh ini memberi warna lain dalam aspek kebudayaan Indonesia pada khususnya. Sedangkan budaya yang masuk saat ini sungguh disayangkan ditelan mentah-mentah yang berakibat kita bahkan terlihat lebih 'barat' daripada orang barat itu sendiri.